Universitas GUNADARMA

Jumat, 14 Juni 2013

Resensi Film Sang Penari

Sutradara: Ifa Isfansyah

Skenario: Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn

Pemain: Oka Antara, Prisia Nasution, Landung Simatupang, Slamet Rahardjo, dll.

Produksi: Salto Films

Durasi: 111 menit

Ketika saya menonton Sang Penari, Salut untuk penyutradaraan dan akting Oka Antara sebagai Rasus dan Prisia Nasution sebagai Srintil yang sungguh terpuji. Jangan lagi Landung Smatupang dan Slamet Rahardjo, nggak heran deh kalau mereka bermain bagus. Suasana Dukuh Paruk berhasil dihadirkan bukan saja secara visual tetapi juga diperkuat oleh dialog-dialog dalam bahasa Banyumasan yang medok oleh para pemainnya. Kalau kamu sudah baca novelnya, kamu akan tahu bahwa Ifa sukses menerjemahkan naskah tersebut ke dalam gambar. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah jika mengingat novel RDP yang sudah dikenal masyarakat. Selalu ada risiko menuai kritik dari para pembaca setianya.

Jika hendak bersetia dengan novelnya, awal mula Srintil menjadi ronggeng seharusnya pada usia dua belas, ketika ia menadapat haid pertama kali. Tetapi, dengan pertimbangan moral, Ifa memutuskan sedikit mengubah bagian itu dengan Srintil yang sudah berusia 17. Keputusan yang bijak, saya rasa.

Ya, ini kisah yang sarat tradisi lokal, tentang seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil. Di Dukuh Paruk yang miskin, keberadaan ronggeng adalah sebuah keharusan sekaligus anugerah turun temurun. Ronggeng terakhir tewas beserta beberapa warga dukuh yang lain akibat keracunan tempe bongkrek bikinan ayah Srintil Srintil waktu itu masih bocah ingusan. Ayah ibu Srintil akhirnya juga ikut mati oleh tempe buatan mereka sendiri. Untunglah, Srintil selamat. Kemudian dia diasuh oleh kakeknya (Landung Simatupang).

Srintil memiliki sahabat, Rasus namanya. Mereka tumbuh bersama dan tanpa sadar benih-benih cinta telah turut bersemi seiring beranjaknya usia mereka. Jika Rasus mengisi waktunya dengan bekerja sebagai buruh tani di kebun singkong, Srintil diam-diam memendam hasrat untuk menjadi ronggeng yang telah lama tiada di dukuh mereka. Meski Rasus tak setuju dengan cita-cita Srintil, tetapi takdir lebih berkuasa menjadikan Srintil sebagai penari. Maka, pada waktu yang telah ditentukan, digelarlah upacara penobatan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam upacara itu dia juga harus melewati ritual “bukak klambu”. Dalam ritual ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar tertinggi.

Rasus yang cemburu tak sanggup membayangkan gadis yang dicintainya itu melakukan ritual bukak klambu. Dia lalu menemui Srintil yang menyambutnya dengan gairah yang sama. Di dalam kegelapan kandang kambing, Srintil dan Rasus menyatukan tubuh dan cinta mereka.

Dan selanjutnya, Srintil menjelma ronggeng yang dicintai Dukuh Paruk. Rasus yang tetap tak sepakat, memilih meninggalkan kampungnya dan kemudian menjadi tentara.

Seiring perkembangan politik tanah air masa itu, Dukuh Paruk tak luput dari jangkauan partai komunis. Kemiskinan dan kebodohan orang-orang di desa itu adalah sasaran empuk bagi propaganda partai yang berpaham kerakyatan itu. Bakar berhasil mendapatkan pengikut melalui jargon “semua untuk rakyat”, termasuk kesenian. Termasuk ronggeng.

Srintil yang lugu dan hanya tahu menari pada akhirnya harus menanggung akibatnya. Ketika pecah kaos pada 1965, bersama orang-orang Paruk, Srintil ditangkap dan ditahan. Ironisnya, petugas/tentara yang melakukan penangkapan itu salah satunya adalah Rasus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar